Istilah dalam pernikahan
1. Khulu’
Perpisahan antara suami dan isteri melalui tebus
talak sama ada denganmenggunakan lafaz talak atau khuluk. Pihak isteri boleh
melepaskan dirinyadaripada ikatan perkawinan mereka, jika ia tidak berpuas hati
atau lain-lain sebab(Istri sangat membenci suaminya karena sebab tertentu dan
dikhawatirkan istritidak dapat mematuhi suaminya). Pihak isteri hendaklah
membayar sejumlah uangatau harta yang dipersetujui bersama dengan suaminya,
maka suaminya hendaklahmenceraikan isterinya dengan jumlah atau harta yang
ditentukan.
Hukum khuluk adalah
berdasarkan surah al-Baqarah ayat 229 :
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi
untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh
langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
Tidak halal bagi kamu mengambil apa-apa yang telah kamu berikan kepada
mereka suatu jua pun,kecuali jika takut kedua-duanya tidak akan mengikut
peraturan Allah SWT. Jika kamu takut bahwa tidak akan mengikut peraturan Allah
maka tiadalah berdosa kedua-duanya tentang barang yang jadi tebus oleh
perempuan.
Tujuan
khulu’
a. Memelihara hak wanita
b. Menolak bahaya kemudaratan yangmenimpanya
c. Memberi keadilan kepada wanita yang
cukupumurnya melalui keputusan mahkamah.
2. Dzihar
Zihar di
ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami mengatakan
kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku
adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya. Menzihar
tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.
Pada zaman
Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar bukan
talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang
menzihar istrinya harus membayar kafarat.
Dzihar
sebagai tindakan menyerupakan isteri dengan perempuan yang diharamkan (muhrim)
baginya (dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan
orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.
Dzihar
merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau menzalimi
isterinya. Mereka mengucapkan kata-kata dzihar, semisal "punggungmu seperti
punggung ibuku" demi mengharamkan isterinya bagi dirinya dan sang isteri
tidak bisa dinikahi oleh orang lain karena belum diceraikan secara resmi.
a.
Hukum
Zihar
Para ulama
sepakat mengatakan zihar itu hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang
melakukan zihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para
ulama ini berdasarkan penjelasan yang gamblang dari Al-Qur'an dan Hadits
tentang tidak bolehnya zihar:
1. Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia
membayar kafarat zihar
2. Penzihar wajib membayar kafarat zihar
Surah
Al-Mujadalah : ayat 2
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu,
(menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu
mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan
Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan
dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
b. Cara Membayar Kifarah Zihar
Apabila seorang suami yang menzihar isterinya ingin kembali isteri
kifarah tersebut adalah mengikut susunan berikut :
Yang
dizihar itu hendaklah terlebih dahulu ia membayar kifarah, caramembayar:
a. Memerdekakanhamba yang mumin lelaki atau
perempuan.
b. Jika tidak mampu atau tidak berdaya untuk
merdekakan hamba, hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turutdengan tidak
berselang, sekiranya diselang-selangkan walaupun karena sakit, maka puasa yang
lalu terputus dan mestilah diulang semula.
c. Jika tidak terdaya berpuasa selama dua
bulan berturut-turut, maka ia hendaklah memberi sedekah makanankepada enam
puluh orang miskin, tiap-tiap seorang diberikan secukupnya dan makanan utama
bagi negeri itu.
Setelah
kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali kepada
istrinya. Kafarat zihar yang haruslah dibayar harus berurutan, artinya apabila
dia tidak sanggup membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia membayar dengan
bentuk yang kedua, Selanjutnya bila tidak sanggup membayar bentuk yang kedua,
maka dia harus membayar dengan bentuk yang ketiga. Bentuk kafarat zihar
tersebut adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu maka dia harus
puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka dia harus memberi
makan kepada 60 orang miskin.
Hukum
syara' memang memperberat kafarat zihar karena syar'i, Allah SWT ingin menjaga
kelanggengan hubungan suami istri dan mencegah istri dari perbuatan yang zalim.
Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat (denda) zihar itu berat maka dia tentu
akan berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan istrinya dan dia diharapkan
tidak mau berbuat zalim kepada istrinya dengan cara apapun juga termasuk zihar.
Para ulama sepakat mengatakan
bahwa menyamakan istri dengan punggung ibu adalah zihar, tetapi ulama berbeda
pendapat dalam hal menyamakan istri dengan punggung bukan ibu. Misalnya
menyamakan istri dengan muhrim suaminya, misalnya suami mengatakan "
Anti Alayya Kazahri Ukhti" artinya engkau bagiku adalah seperti
punggung saudara perempuanku
Menurut
golongan Abu Hanifah menyamakan istri dengan muhrim suami adalah zihar.
Al-Auza'i Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i dan Zaid Ibnu Ali pada salah satu qaulnya
mengatakan bahwa laki-laki menyamakan istrinya dengan salah seorang muhrimnya
yang haram dinikahi baginya selama-lamanya baik karena nasab atau karena
rada'ah adalah termasuk zihar. Oleh karena itu haram baginya mencampuri
istrinya tersebut untuk selama-lamanya.
Segolongan ulama yang lain mengatakan, menyamakan
istri dengan salah seorang mahram yang bukan ibu atau menyamakan istri dengan
selain punggung ibu adalah juga termasuk zihar.
Dasar Hukum zihar adalah terdapat dalam Surat
Al-Mujadalah ayat 1-4 beserta dengan asbabun nuzulnya ayat 1-6 mengenai kasus
Aus Bin Ats-Tsamid yang menzihar istrinya bernama Khaulah Binti Malik Ibn
Tsalabah. Dasar hukum zihar itu juga berdasarkan riwayat Salamah Ibn sahl
Al-Bayadi yang menzihar istrinya di bulan Ramadhan. Di samping itu dasar hukum
zihar adalah Surat Al-Ahzab ayat 4.
Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak
menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian
itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).
[1198] Zhihar ialah
Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti
punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat
kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada
Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi
setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan
istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
3. Ila’
Menurut
etimologis (Bahasa) Ila' berarti melarang diri dengan menggunakan
sumpah. Sedangkan menurut terminologis (istilah) Ila' berarti bersumpah untuk
tidak lagi mencampuri istri istrinya dalam masa yamg lebih dariempat bulan
atau dengan tidak menyebutkanmasa..
Allah SWT berfirman dalam surat (Al-Baqarah ayat 226-227)
226. kepada orang-orang yang meng-ilaa'
isterinya[141] diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka
kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk)
talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
[141] Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan
mencampuri isteri. dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak
disetubuhi dan tidak pula diceraikan. dengan turunnya ayat ini, Maka suami
setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan
membayar kafarat sumpah atau menceraikan.
Allah SWT
bermaksud menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang-orang jahiliyah,
dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama satu atau
dua tahun, bahkan lebih Kemudian Allah SWT menjadikannya empat bulan saja.
Waktu empat bulan telah ditetapkan Allah SWT dijadikan sebagai masa penangguhan
bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan
sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau menthalaqnya.
Menurut Ibnu
Abbas,Ila' berarti bersumpah untuk tidak mencampuri istri selamanya. sedangkan
Atha' mengatakan Ila' berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak
mencampuri istri selama empat bulan atau lebih. Jika tidak diiringi dengan
bersumpah, maka bukan di sebut dengan Ila'.
a.
Suami Yang
Berila' Boleh Kembali Atau Menceraikan Istrinya
Ali Bin
Abi Thalib mengatakan jika seorang suami mengila' istrinya tepat selama empat
bulan, maka ia harus berhenti dari ila'nya dan selanjutnya ia harus memilih
untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya. dalam hal ini ia harus di
paksa. Sedangkan menurut Ibnu Umar seorang suami yang mengila' istrinya lalu
diberhentikan setelah empat bulan maka selanjutnya ia boleh kembali kepada
istrinya atau menceraikannya. Sulaiman Bin Yasar mengatakan "aku pernah
mendengar beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah mengatakan bahwa Ila' itu
dapat diberhentikan. Demikian ini juga menjadi pendapat Said Bin Musayyab,
Thawus, Mujahid, Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar, dimana mereka semua menyatakan
bahwa Ila' seseorang itu diberhentikan dan selanjutnya diberi pilihan mau
kembali atau menthalak istrinya.
Dari Umar
Bin Abdul Aziz, Urwah Bin Zubair, Abu Mujalas, dan Muhammad Bin ka'ab
mereka mengatakan: "Ila' seseorang itu dapat diberhentikan." Sulaiman
Bin Yasar mengatakan Aku pernah melihat sekumpulan orang menhentikan orang yang
mengila' istrinya setelah lebih dari empat bulan. Selanjutnya ia boleh kembali
kepadanya atau menceraikannya. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i
Abu Tsaur, Abu Ubaid,Ahmad, Ishak, Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat mereka.
Namun demikian Imam Malik dan Syafi'i dalam salah satu pernyataannya
mengatakan Jika suami tersebut menolaknya, maka Hakim yang akan
menceraikannya.
Keduanya
memang berbeda pendapat, dimana Imam Syafi'i mengatakan Suami tersebut boleh
kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya. Jika ia mencampurinya
, maka yang demikian itu telah menggugurkan Ila'nya. Sedang apabila ia tidak
mencampurinya maka Ila'nya harus dihentikan dan selanjutnya ia boleh memilih
kembali kepadanya atau diceraikan oleh hakim, kemudian ia boleh rujuk lagi
kepadanya, jika ia mencampurinya maka ila'nya tersebut gugur dan jika tidak
mencampurinya maka ila'nya itu harus dihentikan setelah empat bulan, dan selanjutnya
diceraikan oleh hakim. Setelah itu diharamkan bagi suaminya kembali kepada
istrinya tersebut kecuali setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain.
b.
Thalak
yang jatuh karena ila'
Menurut
Abu Hanifah thalak yang terjadi karena Ila' merupakan thalak Ba'in. Karena jika
Thalak itu Raj'i maka dimungkinkan bagi suami untuk untuk memaksanya ruju',
sebab hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu menghilangkan kepentingan
istri dan dimana sang istri tidak dapat menghindarkan dari dari bahaya. Imam Malik,
Imam Syafi'i , Said Bin Musayyab dan abu Bakar Bin Abdirrahman mengatakan bahwa
ila'itu merupakan thalak Raj'i karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa
ila' itu thalak Ba'in.
4. Li’an
Kata li'an menurut bahasa berarti alla'
nubainatsnaini fa shaidan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang
atau lebih). Sedang,menurut istilah syar'i, li'an ialah sumpah dengan redaksi
tertentu yang diucapkan suami bahwaisterinya telah berzina atau ia menolak bayi
yanglahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun
bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.
Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya
berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa
tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia
mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an.
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal
mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya
dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa
la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu
dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya
suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan(sumpah) yang
kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orangyang
benar. Didalam surat An-Nuur: 6-9 :
6. dan orang-orang yang menuduh isterinya
(berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka
sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama
Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya,
jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[1030].
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya
empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk
orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya
jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.
[1030] Maksud ayat 6 dan 7:
orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang
saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar
dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena
laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.
Hukum-Hukum Yang Menimpa Orangyang Melakukan Li’an
a.
Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist Dari
IbnuUmar r.a , ia berkata, Nabi SAW memutuskan hukum di antara seorang suami
dan isteri dari kaumAnshar, dan menceraikan antara keduanya.
b.
Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahlbin Sa’d ra, ia berkata, Telah berlaku sunnah Nabi
SAW tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara
keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.
c.
Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah,
harusdiserahkan kepada sangisteri (ibunya). Dari Ibnu Umar r.a ia berkata,
Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami
dengan isterinya kemudian ia (suami)dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau
menceraikan antara mereka berdua,kemudian anak itu Rasulullah serahkankepada
isterinya.