Tuesday, May 1, 2012

Tugas Mata Kuliah Istilah dalam pernikahan


Istilah dalam pernikahan
1.   Khulu’
Perpisahan antara suami dan isteri melalui tebus talak sama ada denganmenggunakan lafaz talak atau khuluk. Pihak isteri boleh melepaskan dirinyadaripada ikatan perkawinan mereka, jika ia tidak berpuas hati atau lain-lain sebab(Istri sangat membenci suaminya karena sebab tertentu dan dikhawatirkan istritidak dapat mematuhi suaminya). Pihak isteri hendaklah membayar sejumlah uangatau harta yang dipersetujui bersama dengan suaminya, maka suaminya hendaklahmenceraikan isterinya dengan jumlah atau harta yang ditentukan.
Hukum khuluk adalah berdasarkan surah al-Baqarah ayat 229 :
  
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.

Tidak halal bagi kamu mengambil apa-apa yang telah kamu berikan kepada mereka suatu jua pun,kecuali jika takut kedua-duanya tidak akan mengikut peraturan Allah SWT. Jika kamu takut bahwa tidak akan mengikut peraturan Allah maka tiadalah berdosa kedua-duanya tentang barang yang jadi tebus oleh perempuan.

Tujuan khulu’
a.    Memelihara hak wanita
b.    Menolak bahaya kemudaratan yangmenimpanya
c.     Memberi keadilan kepada wanita yang cukupumurnya melalui keputusan mahkamah.

2.   Dzihar
Zihar di ambil dari kata Zahr yang berarti punggung . Kalau seseorang suami mengatakan kepada istrinya "Anti Alayya Kazahri Ummi," artinya engkau bagiku adalah seperti punggung ibuku, berarti si suami telah menzihar istrinya. Menzihar tersebut maksudnya suami haram menggauli istrinya untuk selama-lamanya.
Pada zaman Jahiliyyah zihar adalah sama dengan talak. Setelah Islam datang, Zihar bukan talak, zihar adalah perbuatan yang terkutuk dan haram hukumnya. Dan orang yang menzihar istrinya harus membayar kafarat.
Dzihar sebagai tindakan menyerupakan isteri dengan perempuan yang diharamkan (muhrim) baginya (dengan tujuan mengharamkan sang isteri bagi dirinya dan mengharamkan orang lain untuk menikahinya karena belum dicerai.
Dzihar merupakan kebiasaan masyarakat Arab kuno dalam menghukum atau menzalimi isterinya. Mereka mengucapkan kata-kata dzihar, semisal "punggungmu seperti punggung ibuku" demi mengharamkan isterinya bagi dirinya dan sang isteri tidak bisa dinikahi oleh orang lain karena belum diceraikan secara resmi.

a.       Hukum Zihar
Para ulama sepakat mengatakan zihar itu hukumnya haram. Oleh sebab itu orang yang melakukan zihar berarti melakukan perbuatan yang berdosa. Kesepakatan para ulama ini berdasarkan penjelasan yang gamblang dari Al-Qur'an dan Hadits tentang tidak bolehnya zihar:
1.    Haram menyetubuhi istrinya itu sebelum ia membayar kafarat zihar
2.    Penzihar wajib membayar kafarat zihar

Surah Al-Mujadalah : ayat 2
  
Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

b.      Cara Membayar Kifarah Zihar
Apabila seorang suami yang menzihar isterinya ingin kembali isteri kifarah tersebut adalah mengikut susunan berikut :
Yang dizihar itu hendaklah terlebih dahulu ia membayar kifarah, caramembayar:
a.   Memerdekakanhamba yang mumin lelaki atau perempuan.
b.   Jika tidak mampu atau tidak berdaya untuk merdekakan hamba, hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut-turutdengan tidak berselang, sekiranya diselang-selangkan walaupun karena sakit, maka puasa yang lalu terputus dan mestilah diulang semula.
c.    Jika tidak terdaya berpuasa selama dua bulan berturut-turut, maka ia hendaklah memberi sedekah makanankepada enam puluh orang miskin, tiap-tiap seorang diberikan secukupnya dan makanan utama bagi negeri itu.

Setelah kafarat ini di bayar oleh penzihar barulah penzihar berhak kembali kepada istrinya. Kafarat zihar yang haruslah dibayar harus berurutan, artinya apabila dia tidak sanggup membayar bentuk kafarat yang pertama maka dia membayar dengan bentuk yang kedua, Selanjutnya bila tidak sanggup membayar bentuk yang kedua, maka dia harus membayar dengan bentuk yang ketiga. Bentuk kafarat zihar tersebut adalah memerdekakan budak perempuan, jika tidak mampu maka dia harus puasa selama dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu maka dia harus memberi makan kepada 60 orang miskin.
Hukum syara' memang memperberat kafarat zihar karena syar'i, Allah SWT ingin menjaga kelanggengan hubungan suami istri dan mencegah istri dari perbuatan yang zalim. Sebab dengan tahunya suami bahwa kafarat (denda) zihar itu berat maka dia tentu akan berhati-hati dalam menjaga hubungannya dengan istrinya dan dia diharapkan tidak mau berbuat zalim kepada istrinya dengan cara apapun juga termasuk zihar.
                 Para ulama sepakat mengatakan bahwa menyamakan istri dengan punggung ibu adalah zihar, tetapi ulama berbeda pendapat dalam hal menyamakan istri dengan punggung bukan ibu. Misalnya menyamakan istri dengan muhrim suaminya, misalnya suami mengatakan " Anti Alayya Kazahri Ukhti" artinya engkau bagiku adalah seperti punggung saudara perempuanku
Menurut golongan Abu Hanifah menyamakan istri dengan muhrim suami adalah zihar. Al-Auza'i Ats-Tsauri, Asy-Syafi'i dan Zaid Ibnu Ali pada salah satu qaulnya mengatakan bahwa laki-laki menyamakan istrinya dengan salah seorang muhrimnya yang haram dinikahi baginya selama-lamanya baik karena nasab atau karena rada'ah adalah termasuk zihar. Oleh karena itu haram baginya mencampuri istrinya tersebut untuk selama-lamanya.
Segolongan ulama yang lain mengatakan, menyamakan istri dengan salah seorang mahram yang bukan ibu atau menyamakan istri dengan selain punggung ibu adalah juga termasuk zihar. 
Dasar Hukum zihar adalah terdapat dalam Surat Al-Mujadalah ayat 1-4 beserta dengan asbabun nuzulnya ayat 1-6 mengenai kasus Aus Bin Ats-Tsamid yang menzihar istrinya bernama Khaulah Binti Malik Ibn Tsalabah. Dasar hukum zihar itu juga berdasarkan riwayat Salamah Ibn sahl Al-Bayadi yang menzihar istrinya di bulan Ramadhan. Di samping itu dasar hukum zihar adalah Surat Al-Ahzab ayat 4.

  
Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar[1198] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

[1198] Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).


3.   Ila’
Menurut etimologis (Bahasa) Ila' berarti melarang diri dengan menggunakan sumpah. Sedangkan menurut terminologis (istilah) Ila' berarti bersumpah untuk tidak lagi mencampuri istri istrinya dalam masa yamg lebih dariempat bulan atau dengan tidak menyebutkanmasa..
Allah SWT berfirman dalam surat (Al-Baqarah ayat 226-227)

  
226. kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya[141] diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

[141] Meng-ilaa' isteri Maksudnya: bersumpah tidak akan mencampuri isteri. dengan sumpah ini seorang wanita menderita, karena tidak disetubuhi dan tidak pula diceraikan. dengan turunnya ayat ini, Maka suami setelah 4 bulan harus memilih antara kembali menyetubuhi isterinya lagi dengan membayar kafarat sumpah atau menceraikan.

Allah SWT bermaksud menghapuskan hukum yang berlaku pada kebiasaan orang-orang jahiliyah, dimana seorang suami bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya selama satu atau dua tahun, bahkan lebih Kemudian Allah SWT menjadikannya empat bulan saja. Waktu empat bulan telah ditetapkan Allah SWT dijadikan sebagai masa penangguhan bagi suami untuk merenungkan diri dan memikirkan, mungkin ia akan membatalkan sumpahnya dan kembali kepada istrinya atau menthalaqnya.
Menurut Ibnu Abbas,Ila' berarti bersumpah untuk tidak mencampuri istri selamanya. sedangkan Atha' mengatakan Ila' berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak mencampuri istri selama empat bulan atau lebih. Jika tidak diiringi dengan bersumpah, maka bukan di sebut dengan Ila'.

a.    Suami Yang Berila' Boleh Kembali Atau Menceraikan Istrinya

Ali Bin Abi Thalib mengatakan jika seorang suami mengila' istrinya tepat selama empat bulan, maka ia harus berhenti dari ila'nya dan selanjutnya ia harus memilih untuk kembali kepada istrinya atau menceraikannya. dalam hal ini ia harus di paksa. Sedangkan menurut Ibnu Umar seorang suami yang mengila' istrinya lalu diberhentikan setelah empat bulan maka selanjutnya ia boleh kembali kepada istrinya atau menceraikannya. Sulaiman Bin Yasar mengatakan "aku pernah mendengar beberapa laki-laki dari sahabat Rasulullah mengatakan bahwa Ila' itu dapat diberhentikan. Demikian ini juga menjadi pendapat Said Bin Musayyab, Thawus, Mujahid, Qasim Bin Muhammad Bin Abi Bakar, dimana mereka semua menyatakan bahwa Ila' seseorang itu diberhentikan dan selanjutnya diberi pilihan mau kembali atau menthalak istrinya.
Dari Umar Bin Abdul Aziz, Urwah Bin  Zubair, Abu Mujalas, dan Muhammad Bin ka'ab mereka mengatakan: "Ila' seseorang itu dapat diberhentikan." Sulaiman Bin Yasar mengatakan Aku pernah melihat sekumpulan orang menhentikan orang yang mengila' istrinya setelah lebih dari empat bulan. Selanjutnya ia boleh kembali kepadanya atau menceraikannya. Ini juga merupakan pendapat Imam Malik, Imam Syafi'i Abu Tsaur, Abu Ubaid,Ahmad, Ishak, Abu Sulaiman dan sahabat-sahabat mereka. Namun demikian Imam Malik dan Syafi'i dalam salah satu pernyataannya mengatakan  Jika suami tersebut menolaknya, maka Hakim yang akan menceraikannya.
Keduanya memang berbeda pendapat, dimana Imam Syafi'i mengatakan Suami tersebut boleh kembali kepada istrinya selama masih dalam masa iddahnya. Jika ia mencampurinya , maka yang demikian itu telah menggugurkan Ila'nya. Sedang apabila ia tidak mencampurinya maka Ila'nya harus dihentikan dan selanjutnya ia boleh memilih kembali kepadanya atau diceraikan oleh hakim, kemudian ia boleh rujuk lagi kepadanya, jika ia mencampurinya maka ila'nya tersebut gugur dan jika tidak mencampurinya maka ila'nya itu harus dihentikan setelah empat bulan, dan selanjutnya diceraikan oleh hakim. Setelah itu diharamkan bagi suaminya kembali kepada istrinya tersebut kecuali setelah istrinya menikah dengan laki-laki lain.

b.    Thalak yang jatuh karena ila'
Menurut Abu Hanifah thalak yang terjadi karena Ila' merupakan thalak Ba'in. Karena jika Thalak itu Raj'i maka dimungkinkan bagi suami untuk untuk memaksanya ruju', sebab hal itu merupakan haknya. Dan demikian itu menghilangkan kepentingan istri dan dimana sang istri tidak dapat menghindarkan dari dari bahaya. Imam Malik, Imam Syafi'i , Said Bin Musayyab dan abu Bakar Bin Abdirrahman mengatakan bahwa ila'itu merupakan thalak Raj'i karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa ila' itu thalak Ba'in.


4.   Li’an
Kata li'an menurut bahasa berarti alla' nubainatsnaini fa shaidan (saling melaknat yang terjadi di antara dua orang atau lebih). Sedang,menurut istilah syar'i, li'an ialah sumpah dengan redaksi tertentu yang diucapkan suami bahwaisterinya telah berzina atau ia menolak bayi yanglahir dari isterinya sebagai anak kandungnya, dan kemudian sang isteri pun bersumpah bahwa tuduhan suaminya yang dialamatkan kepada dirinya itu bohong.

Apabila seorang laki-laki menuduh isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, kemudian isterinya menganggap bahwa tuduhannya bohong, maka pihak suami harus dijatuhi hukuman dera, kecuali dia mempunyai bukti yang kuat atau melakukan li’an.

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta. Dan(sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orangyang benar. Didalam surat  An-Nuur: 6-9 :

6. dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.
7. dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta[1030].
8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar Termasuk orang-orang yang dusta.
9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu Termasuk orang-orang yang benar.

[1030] Maksud ayat 6 dan 7: orang yang menuduh Istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa Dia adalah benar dalam tuduhannya itu. kemudian Dia bersumpah sekali lagi bahwa Dia akan kena laknat Allah jika Dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an.

Hukum-Hukum Yang Menimpa Orangyang Melakukan Li’an
a.    Keduanya harus diceraikan, berdasarkan hadist Dari IbnuUmar r.a , ia berkata, Nabi SAW memutuskan hukum di antara seorang suami dan isteri dari kaumAnshar, dan menceraikan antara keduanya.
b.    Keduanya haram ruju’ untuk selama-lamanya.
Dari Sahlbin Sa’d ra, ia berkata, Telah berlaku sunnah Nabi SAW tentang suami isteri yang saling bermula’anah dimana mereka diceraikan antara keduanya, kemudian mereka tidak (boleh) ruju’ buat selama-lamanya.
c.     Anak yang lahir dari isteri yang bermula’anah, harusdiserahkan kepada sangisteri (ibunya). Dari Ibnu Umar r.a ia berkata, Sesungguhnya Nabi saw pernah memutuskan untuk mula’anah antara seorang suami dengan isterinya kemudian ia (suami)dipisahkan dari anaknya, lantas Beliau menceraikan antara mereka berdua,kemudian anak itu Rasulullah serahkankepada isterinya.